Cinta tak dibatas masa, rindu tak dibelenggu waktu. Walau kata orang, 22 Desember adalah hari ibu, namun bagiku, itu tak memberi arti. Cinta dan rindu mesti dirajut setiap saat setiap waktu.
Adalah sebuah kesyahduan ketika bisa mencium tangan ibunda, kemudian beliau dengan penuh kasih megusap kepalaku, mengucapkan satu kalimat, "Sing Soleh, Jang, didu'akeun ku ema". Sebuah kalimat sederhana, namun berjuta makna. Sebuah kearifan sikap seorang ibu, berharap anak-anaknya menjadi insan soleh dan solehah.
Bahagia pula ketika hampir seminggu sekali, beliau mengunjungi kami. Seolah sudah menjadi SOP, ketika beliau tiba di rumah kami, saya dan istri mencium tangan beliau, lalu saya katakan, "Mah, bade ngopi?". Memang kesukaan beliau kopi hitam. Lauk Kesukaannya adalah ati ayam, yang selalu ingin dimasak oleh istriku.
Suatu saat yang lain beliau diajak ke Alun-alun Cianjur. Sekedar jalan-jalan saja sebenarnya. Namun ada momen tak terlupakan ketika beliau ingin berfoto, hanya berdua saja.
Masya Allah, ini momen bermakna di antara ribuan momen lainnya bersama beliau. Hanya berdua saja.
Satu rahasia yang kuungkapkan, bahwa saat terindah lainnya bersama ibunda adalah ketika bisa tidur di pangkuannya, setelah sebelumnya "disiaran", atau diambil kutu dari kepala walau tak ada kutu sebenarnya. Hingga tertidur.😀
Kedengarannya alay ya, namun begitulah, walau sudah usia kepala 4, namun di hadapan ibunda, tetaplah anak, yang terkadang muncul sifat "manja", serasa dulu ketika kecil. Indah...indah...ya Allah.
Dengan kesederhanaannya, beliau menjadi muara curhat anak-anaknya. Bahkan, ketika saya sedikit "melenceng" dari rel di mana seharusnya menjadi qowwam, pemimpin dalam rumah tangga, beliaulah yang pertama "menjewer" dan mengatakan, "tong kitu, sing nyaah ka emah". Seolah penjabarannya, ibu adalah wanita, ketika menyakiti istri, sama-sama wanita, berarti menyakiti ibu. Subhanalloh.
Dan baru tersadar, satu tahun berlalu, ternyata semua itu tinggal kenangan saja. Sekarang Semua tak nyata. Beliau sudah memenuhi panggilan Tuhannya untuk kembali ke haribaan-Nya.
Peaan-pesannya masih terngiang, "Sing soleh", "Sing junun". Kata sederhana, menjadi tantangan luar biasa.
Maka ketika menemukan gambar di atas, dari sebuah akun seorang sahabat di medsos, ada rasa rindu ingin berlaku seperti itu lagi, mencium tangannya, menawari kopi, diusapi kepala hingga tertidur, dan yang utama, menyempurnakan bakti kepadanya.
Tapi, semua tinggal cerita. Tak senpat menggenapkan asa.
Bu Nina menulis:
Penyesalan nanti tak ada arti.
Berbakti di sisa umur kami dan umur mereka, bukan sebaliknya.
Cukuplah saat kecil kami, mereka yang jadi pejuang kehidupan kami, kini... jangan sampai Engkau masih biarkan kami pada posisi itu. Na'udzu.
Hanya berharap kekuatan itu dari-Mu Allahku😌
Sehatkan mereka, sayangi mereka😇
Selagi masih ada, selayaknya bakti di oftimalkan di bilangan usia yang masih tersisa. Sebelum semuanya menjadi kenangan, juga penyesalan.
Selagi masih ada, penuhi hak mereka, hak untuk dihormati, dikasihi, dengan sebenar kasih dan bakti. Sebelum semua menjadi ilusi, tak bukti.
Sebagai lelaki, aku, alhamdulillah kuat menghadapi sejumlah ujian, pengkhianatan dari kawan, dengki dari sesama, namun ketika mengingati beliau yang sudah tiada, air mata tak kuasa ditahan, walau terjadi dalam kesunyian.
Ya Allah, berilah tempat terbaik di sisi-Mu bagj beliau. Mampukan aku menjadi anak yang soleh yang atas izin-Mu bisa mengangkat derajat beliau di akhirat kelak.
Terima kasih kepada fotonya yang dijadikan ilustrasi. Yang dengan melihat foto itu, tulisan tentang kenangan bersama ibu ini terangkai.
Terima kasih, judulnya saya ambil dari caption foto itu.
Barokallohu lanaa wa lakum