Blogger Jateng

Rumahku Surgaku, antara Harapan dan Kenyataan

 " Rumahku surgaku", ujar Rasulullah singkat, ketika salah seorang sahabat bertanya mengenai rumah tangga beliau. Sebuah ungkapan yang tiada terhingga nilainya, dan tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Sebuah idealisme yang menjadi impian semua keluarga.

Akan tetapi, untuk mewujudkan "baiti jannati" ternyata tidak mudah. Tidak seperti yang dibayangkan ketika awal perkenalan atau sebelum pernikahan. Perlu proses, ilmu, kesabaran, perjuangan, bahkan pengorbanan.

Wajar, karena itulah hakikat hidup. Bukan hidup namanya jika tanpa masalah. Justru masalah yang membuat manusia bisa merasakan kesejatian hidup, menjadikan hidup lebih berwarna, dan tidak polos seperti kertas putih yang membosankan. Akan tetapi, tentu saja, jangan sampai masalah-masalah itu mengendalikan diri kita hingga kita kehilangan makna hidup.

Pernikahan ideal terkadang memang jauh dari kenyataan. Artinya, sangat sulit diwujudkan apabila masing-masing pasangan suami-istri menghendaki perkawinannya menjadi puncak kesempurnaan ideal. Sebaliknya, sebuah pernikahan akan menjadi indah jika masing-masing pasangan menjunjung tinggi toleransi, memahami watak, dan berusaha menerima apa adanya watak tersebut.

Istirahatlah sejenak dari mimpi indah tentang pernikahan. Jika mimpi itu hanya berisi bagaimana mengatasi rasa gugup saat akad nikah atau tumpukan amplop warna-warni yang menghiasi "bed of roses". Apalagi kalau hanya mengharap kecupan mesra pada saat pergi dan pulang kerja, atau sekedar membayangkan bisa menatap, berbicara, serta menghabiskan waktu bersama belahan hati tercinta.


Realita Sesungguhnya dari Pernikahan

Pernikahan tidak cuma sampai di situ. Ada banyak pekerjaan dan tugas menanti. Menikah berarti mengerjakan proyek besar dengan misi yang sangat agung, di antaranya melahirkan generasi yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita bersama. Pernahkah terfikir betapa tidak mudahnya misi itu?

Kendati harapan dan cita-cita menghidupkan rumah tangga muslim terus hidup, namun kenyataan harus tetap dihadapi. Perbedaan kepribadian, perasaan, pembawaan, selera, dan kegemaran yang selama ini terbina dari latar belakang keluarga serta pendidikan yang berbeda, ternyata tidak selalu mudah untuk disatukan.

Jika sebelum pernikahan semua itu dikatakan mudah diselesaikan melalui pemahaman agama, ternyata lambat laun ada juga perselisihan yang memang tidak dapat dielakkan dalam rumah tangga. Bagaimanapun, ikatan pernikahan berarti berhimpunnya dua manusia yang memiliki aneka perbedaan. 

Bayangkan! Dua manusia berbeda, melalui sebuah pernikahan, kemudian serumah, sekamar, bahkan setempat tidur, dan hidup bersama. Demikian halnya, manakala di kemudian hari hadir anak-anak di tengah mereka. Jenis kelaminnya saja berbeda, apalagi karakter, emosi, keinginan, harapan, dan sikapnya terhadap sesuatu. Lengkaplah sudah. Manusia-manusia berbeda hidup bersama dalam sebuah institusi yang bernama keluarga. Hal ini sungguh luar biasa! 

Dengan aneka perbedaan tersebut, jelas bkan hal yang tidak mungkin apabila suatu saat akan muncul konflik. Kalaupun sepasang suami istri tampak seiring sejalan dalam menyikapi dan melakukan berbagai hal, hampir dapat dipastikan karena adanya upaya masing-masing pihak untuk saling menahan diri serta saling mengorbankan diri serta mengorbankan apa-apa yang potensial bisa memicu timbulnya masalah. Walhasil, lahirlah dalam rumah tangga yang mereka bina perasaan tenteram, lapang hati, dan cinta kasih.

Titik-titik perbedaan itu sendiri sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan, terutama jika di antara mereka sudah tumbuh keinginan untuk saling memaksakan kehendak dan enggan saling menghargai aspirasi masing-masing. Apalagi kalau semua itu lahir dari karakter dan tingkah emosional masing-masing, jangan heran jika akhirnya muncul konflik.

Di antara Bekal Rumah Tangga

Inilah bagian dari fenomena yang mungkin akan dihadapi oleh setiap pasangan suami-istri, sehingga kita butuh bekal yang efektif untuk menyikapi dan menyiasatinya, agar kemungkinan munculnya potensi konflik semacam ini bisa dihilangkan atau setidaknya diminimalisasi.

Mencontoh rumah tangga Rasulullah SAW adalah satu tuntutan. Di pihak lain, sebagai seorang muslim, tantangan dan cobaan adalah peluang untuk meningkatkan kualitas diri agar semakin dekat kepada Allah.

Dengan demikian, berbagai masalah dalam pernikahan dan rumah tangga adalah fenomena yang harus dihadapi dengan sabar dan realistis oleh setiap pasangan suami-istri yang menginginkan naungan Allah 'Azza wa jalla.

Akhirnya kita berharap, semoga Allah menguatkan kita untuk menghadapi dan menyelesaikan segala permasalahan dalam rumah tangga, senantiasa membimbing kita untuk selalu memandang bahwa berumah tangga adalah sebuah ibadah yang menjadi wasilah kita beroleh surga Allah Ta'ala. Aamiin.

Epilog

Catatan dari insan yang sedang belajar menjadi qowwam (pemimpin) dalam rumah tangga, yang sedang belajar memenuhi seruan Allah, "Quu anfusakum wa ahlikum naaro". Tak lupa, ucapan "jazakallohu khoiron katsiro" kepada Akhi Deny Riana atas inspirasinya dalam membangun keluarga.

Syukron, jazakillahu ahsanul jaza, kepada Ummu Annisa yang setia mendampingi jatuh bangunnya bangunan keluarga ini, keep honesty!