Untuk apa berkeluarga? Untuk apa punya anak? Sebuah pertanyaan ringan tapi mendalam. Jawaban dari pertanyaan tersebut, akan beragam tergantung siapa yang menjawab, tergantung persepsi dirinya. Persepsi akan menentukan langkah yang dipilih, akan menentukan haluan yang dituju.
Kalau mau dipahami dari sudut pandang logika ansih materialis, berkeluarga itu absurd. Karena berkeluarga itu jelas susahnya, mengharuskan komitmen, berbiaya besar, high-risk low-gain max-efforts min-results.
Andaipun ada yang bilang, tapi kan bahagia? Nah itu, dalam konsep logika materialis, bahagia itu adalah kesenangan yang bisa disewa, non-permanen, instan dan sekali pakai. Atau bahagia bisa dibeli dengan rupiah.
Bagi orang seperti ini, yang menyangka bahagia bisa disewa, mereka lebih menikmati hubungan tanpa status, punya kenikmatan suami-istri tapi tanpa komitmen. Anak-anak bisa diganti dengan pets, sebagaimana di Jepang atau di Amerika.
Seseorang pernah bertanya dalam sebuah survey sederhana, pasangan-pasangan keluarga di Jepang, "Kenapa pada nggak punya anak?". Jawabannya, karena matematika mereka hebat. Berhitung sampai rinci, kesimpulannya punya anak itu rugi.
Sekali lagi tentang logika materialis. Kita kerja keras bagai quda, hasilnya 70-80% justru untuk anak-anak. Pendidikan, sandang, pangan, papan, ujungnya saat nikah, hasilnya dinikmati orang lain.
Konsep berkeluarga dalam Islam
Itulah pentingnya Islam. Karena Islam memandang manusia tidak hanya fisik tapi juga jiwa, tidak hanya logika tapi juga rasa. Dan dalam Islam, kenikmatan sebab maksiat, itu fatamorgana. Menipu tak hakiki dan memperdaya.
Sebagaimana para pemabuk yang mengira khamr adalah obat, atau pemadat yang mengira narkoba adalah bahagia. Maksiat takkan pernah memberikan kebahagiaan sejati bagi manusia.
Islam memberi bahagia dari definisi yang menciptakan manusia. Dengan komitmen pernikahan, atau menjadikan anak sebagai hiasan terbaik, atau orangtua sebagai sumber bahagia utama.
Maka sebagaimana kita dididik oleh orang tua dengan baik, kita berusaha mendidik anak lebih baik. Karena bahagia itu bukan hanya tentang untung rugi dan hitungan saja, bahagia itu tentang visi hidup, bukan hanya untuk di sini, tapi sampai ke akhirat nanti.
Anak adalah investasi untuk mewujudkan kejayaan Islam, juga investasi untuk kebahagiaan di akhirat nanti.
Bahwasanya, kelak, bila bukan mata kita yang melihat bangkitnya dan indahnya Islam. Maka anak-anak kita yang harus memperjuangkannya, melihatnya, mengalaminya dan menikmatinya, atau kita bawa lebih dekat lagi ke masa itu.
Atau sekedar sebuah harapan, saat di yaumil hisab, saat wajah kita tertunduk sebab riya dan hasad yang mendahului amal salih. Maka ada yang memanggil kita didampingi malaikat surga
Lalu berucap, "Abi, Ummi, temenin kita di surga ya"
Tabik Ustadzi
Foto: putra tercinta Abu Muzzammil