Saat ini, saya, Anda, dan kita semua selayaknya memperbanyak muhasabah diri tentang apa yang dilakukan untuk keluarga.
Sejumlah pertanyaan bisa dimunculkan. Benarkah kita bekerja untuk keluarga? Benarkah waktu yang tersita dan tersisa untuk menjalani rutinitas pekerjaan, demi kenyamanan dan keamanan keluarga? Ketika kita berangkat pagi pulang malam, benarkah semua untuk membahagiakan keluarga? Masih banyak yang bisa kita tulis untuk mempertanyakan segalanya sebagai bahan introspeksi.
Yang kita takutkan adalah kita sudah merasa banting tulang seharian bahkan sampai malam, ternyata bukan untuk kebahagiaan keluarga melainkan untuk memuaskan nafsu kita.
Yang kita takutkan adalah kita progresif dalam mencari harta untuk kebahagiaan isteri dan anak, nyatanya mereka menderita karena "kehilangan" suami dan ayah dalam keseharian mereka.
Ah...
Membicarakan hal ini, saya jadi teringat kepada sebuah kisah yang mungkin fiktif atau bahkan nyata. Sebuah kisah yang sebenarnya banyak versi walau intinya sama.
Saya ambil yang versinya ustadz kami. Cerita tentang seorang ayah yang supersibuk, perusahaannya dimana-mana, uangnya ditanam di banyak tempat, pengusaha sukses ceritanya.
Kerennya, semua dicapai sangat singkat, hanya beberapa tahun saja, rezeki memang begitu. Sarapan di Houston, makan siang di Abu Dhabi, makan malem di Jakarta, kira-kira begitulah gambarannya.
Dia ada dimana-mana, bertemu siapa-siapa, apa-apa dia punya. Hanya dia selalu absen di rumah, yang ramai hanya oleh istri dan anaknya. Alasannya klise, "Abi banting tulang untuk kalian", gitu katanya.
Dulu pas dia hanya seorang karyawan, kenyataannya memang begitu, karena kalau dia nggak ngantor, berarti nggak ada gaji bulanan, kalau nggak ada gaji, siapa yang bayar kontrak dan tagihan?
Tapi walaupun sesibuk apapun, dia selalu punya waktu buat anaknya selepas jam kantor, ditambah Sabtu-Ahad. Sekarang andaikan sepekan punya tambahan waktu, itupun kurang rasanya.
Satu waktu, dia pulang jelang tengah malam, anaknya masih terjaga. Anaknya bilang kangen sama ayahnya, dan diapun senang karena masih bisa chit-chat sama anaknya.
Anaknya bertanya, apa kabar Abi? Gimana kerja Abi? Emang Abo dapet berapa? Dan sebagai ayah, dia seneng dong, dengan bangga jawabin tiap pertanyaan anaknya.
Dia bilang, "Abi sepekan ini aja dapet proyek 1 M loh, alhamdulillah..", lalu ia lanjut bercerita dengan semangatnya pada anaknya. Anaknya lalu mengambil dari bawah kolong kasurnya.
Dia bilang, "Abi, kakak kangen banget sama Abi, pengen main lagi sama Abi kayak dulu, tapi kakak tahu Abi sibuk, dan waktu itu adalah uang. Ini kakak udah nabung sebulan lebih, alhamdulillah, kakak bisa nyimpen Rp 127.000-an, kira-kira kakak dapet waktu berapa lama sama Abi?".
Dug, rasanya ngehantem banget. Dada sesak. Itu akan kita rasakan jika membaca fragmen singkat di atas, percakapan seorang anak yang merindui kebersamaan dengan abinya.
Kita selayaknya membuka hati, kebahagiaan istri dan anak, tidak selalu dengan melimpahnya harta. Namun cumbu, canda, tawa, riang seorang suami atau ayah bagi anak, kebersamaan sepenuh hati, menjadi bumbu kebahagiaan.
Robbana hablana min azwajina wadzuriyatina qurrota a'yun, waj'alna lil muttaqiina imaama...