Siapapun akan suka dengan sesuatu yang cantik. Apapun itu. Cantik bermakna keindahan, keelokan, keasrian. Bagaimana sebenarnya hakikat kecantikan dalam pandangan Islam? Bagaimana contoh para syahabiyah dalam berdandan untuk mempercantik dirinya? Dan untuk siapa kecantikan seorang muslimah terutama ditujukan?
Artikel berikut sedikitnya memberikan gambaran atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebuah jawban yang dituliskan saudari Asqina Hidayata An Najah, khusus untuk sahabat pembaca ukhtinews.com.
Tentang Penampilan
Dalam masalah penampilan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak akan masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu”. Seseorang pun bertanya: ‘Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?)’. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR: Muslim).Dari hadits di atas setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama: bahwasanya Islam memang menganjurkan untuk memperhatikan penampilan yang baik juga rapi, sebab Allah menyukai hal-hal yang demikian.
Kedua: bahwasanya memperhatikan penampilan itu harus jauh dari niat sombong, atau merasa yang terbaik dan unggul dan menganggap yang lain lebih rendah darinya.
Dalam masalah kebersihan Islam jelas punya perhatian yang luar biasa akan hal ini. Lihat saja salah satunya perintah untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat lima waktu; sebuah gerakan membersihkan beberapa anggota tubuh yang paling bersinggungan langsung dengan kotoran di luar. Atau adanya perintah untuk mandi yang wajib; saat hendak sholat jum’at, sholat Id, atau selepas haid, nifas dan junub.
Ada lagi sebuah perintah untuk mensucikan diri sebab hendak melakukan suatu hal yang ibadah yang sakral (sholat ied dan Jum’at), ataupun pembersihan diri dari kotoran yang keluar dari dalam diri sendiri, atau hadats besar.
Dalam masalah kebersihan Islam jelas punya perhatian yang luar biasa akan hal ini. Lihat saja salah satunya perintah untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat lima waktu; sebuah gerakan membersihkan beberapa anggota tubuh yang paling bersinggungan langsung dengan kotoran di luar. Atau adanya perintah untuk mandi yang wajib; saat hendak sholat jum’at, sholat Id, atau selepas haid, nifas dan junub.
Ada lagi sebuah perintah untuk mensucikan diri sebab hendak melakukan suatu hal yang ibadah yang sakral (sholat ied dan Jum’at), ataupun pembersihan diri dari kotoran yang keluar dari dalam diri sendiri, atau hadats besar.
Maka, menjadi catatan memang apabila kita temui seorang muslim/muslimah yang kedapatan memiliki bau badan yang kurang sedap, sebab perlilakunya kurang sesuai dengan apa yang sudah Islam ajarkan.
Meski memang bukan menjadi hal yang paling disorot secara umum, akan tetapi hal ini merupakan hal yang sangat penting pada orang, waktu dan tempat tertentu.
Lihat saja kisah beberapa shahabiyah dan perhatian mereka terhadap hal ini. Misalnya saja, kisah tentang Ibunda Siti Aisyah setelah satu bulan tinggal di Madinah.
Pada hari itu beberapa shahabiyah lain mendatangi rumahnya dan mendandaninya, sebab pada hari itulah ‘Aisyah akan mulai tinggal bersama dengan Rasulullah ﷺ.
Atau tentang kisah Ummu Sulaim, salah satu shahabiyah yang menunda memberitahukan kabar anak semata wayangnya pada sang suami, Abu Thalhah yang baru saja tiba dari perjalanan jauh. Ummu Salamah pun menyambut kehadiran suaminya itu dengan berdandan yang terbaik, dan baru mengabarkan kabar itu keesokan harinya.
Ada juga kisah tentang Rasulullah ﷺ yang mempertanyakan kondisi istri Utsman bin Madz’un, Khuwailah binti Hakim yang kala itu mengunjungi kediaman Sayyidah ‘Aisyah sedangkan kondisi dan penampilannya buruk.
Sayyidah ‘Aisyah pun menjelaskan bahwasanya Khuwailah ibarat seorang wanita yang tak memiliki suami, sebab terlalu sibuknya sang suami untuk sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya (sampai-sampai tidak memperhatikan istrinya). Rasulullah ﷺ pun menegur Utsman bin Madzun atas perbuatannya tersebut.
Dari sini pun kita tahu bahwasanya orang-orang mulia di jaman Rasul tidak menjadikan kecantikan paras seseorang, terutama seorang perempuan, sebuah konsumsi publik.
Tentang kecantikan paras Muslimah
Lihat saja kisah beberapa shahabiyah dan perhatian mereka terhadap hal ini. Misalnya saja, kisah tentang Ibunda Siti Aisyah setelah satu bulan tinggal di Madinah.
Pada hari itu beberapa shahabiyah lain mendatangi rumahnya dan mendandaninya, sebab pada hari itulah ‘Aisyah akan mulai tinggal bersama dengan Rasulullah ﷺ.
Atau tentang kisah Ummu Sulaim, salah satu shahabiyah yang menunda memberitahukan kabar anak semata wayangnya pada sang suami, Abu Thalhah yang baru saja tiba dari perjalanan jauh. Ummu Salamah pun menyambut kehadiran suaminya itu dengan berdandan yang terbaik, dan baru mengabarkan kabar itu keesokan harinya.
Ada juga kisah tentang Rasulullah ﷺ yang mempertanyakan kondisi istri Utsman bin Madz’un, Khuwailah binti Hakim yang kala itu mengunjungi kediaman Sayyidah ‘Aisyah sedangkan kondisi dan penampilannya buruk.
Sayyidah ‘Aisyah pun menjelaskan bahwasanya Khuwailah ibarat seorang wanita yang tak memiliki suami, sebab terlalu sibuknya sang suami untuk sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya (sampai-sampai tidak memperhatikan istrinya). Rasulullah ﷺ pun menegur Utsman bin Madzun atas perbuatannya tersebut.
Dari sini pun kita tahu bahwasanya orang-orang mulia di jaman Rasul tidak menjadikan kecantikan paras seseorang, terutama seorang perempuan, sebuah konsumsi publik.
Dari sini pun kita bisa ambil satu kesimpulan bahwasanya Islam telah mengatur semua urusan manusia, termasuk di dalamnya urusan kecantikan atau keindahan.
Maka, kecantikan yang hakiki yang tidaklah sebatas dalam urusan superfisial atau yang tampak dan terukur saja sebagaimana klaim cantik menurut para penyelenggara kontes kecantikan. Akan tetapi kecantikan hakiki adalah sebuah kecantikan dalam arti luas yang tentu saja diukur dengan parameter kecintaan dan keridhaan Allah, sebab apalah arti cantik paras tapi malah mengundang kemurkaan-Nya?
Maka, kecantikan yang hakiki yang tidaklah sebatas dalam urusan superfisial atau yang tampak dan terukur saja sebagaimana klaim cantik menurut para penyelenggara kontes kecantikan. Akan tetapi kecantikan hakiki adalah sebuah kecantikan dalam arti luas yang tentu saja diukur dengan parameter kecintaan dan keridhaan Allah, sebab apalah arti cantik paras tapi malah mengundang kemurkaan-Nya?